Minggu, 19 April 2009

SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI INDONESIA

Pada jaman dahulu orang-orang di Indonesia menyembah dan memuja roh leluhurnya. Leluhur dianggap sebagai yang telah berjasa dan mempunyai banyak pengalaman. Roh leluhur, Hyang atau Dahyang namanya, menurut kepercayaan pada waktu itu dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat digunakan oleh orang-orang yang masih hidup. Kekuatan gaib itu diperlukan jika orang akan memulai suatu pekerjaan yang penting, misalnya akan berangkat perang, akan memulai mengerjakan tanah dan lain sebagainya.

Mereka juga percaya bahwa benda-benda seperti pohon besar, batu besar, gunung dan sebagainya dihuni oleh roh-roh. Ada kalanya benda-benda senjata-senjata dianggap bertuah, sakti dan dijadikan jimat oleh pemiliknya.

Upacara pemujaan roh leluhur harus diatur sebaik-baiknya agar restunya mudah diperoleh. Dan pertunjukkan wayang, suatu bentuk kebudayaan Indonesia, erat hubungannya dengan upacara tersebut. Kepercayaan kepada "HYANG" masih dapat juga kita lihat sampai saat ini.

Jaman Sriwijaya.
Sriwijaya bukan saja termashyur karena kekuatan angkatan perangnya, melainkan juga karena merupakan pusat ilmu dan kebudayaan Buddha. Di sana terdapat banyak vihara yang dihuni oleh ribuan bhikkhu. Pada Perguruan Tinggi Agama Buddha di Sriwijaya orang dapat mengikuti selain kuliah-kuliah tentang Agama Buddha juga kuliah-kuliah tentang bahasa Sansekerta dan Bahasa Indonesia Kuno. Pujangga-Pujangga Agama Buddha yang terkenal seperti Dharmapala dan Sakyakirti pernah mengajar di Perguruan Tinggi tersebut. Pada waktu itu Sriwijaya merupakan mercusuar Agama Buddha di Asia Tenggara yang memancarkan cahaya budaya manusia yang cemerlang.

Tentang Agama Buddha di Sriwijaya juga banyak diceritakan oleh seorang sarjana Agama Buddha dari Tiongkok yang bernama I-Tsing. Dalam tahun 672 ia bertolak untuk berziarah ke tempat-tempat suci Agama Buddha di India. Waktu pulang dalam tahun 685 ia singgah di Sriwijaya dan tinggal di sana sampai 10 tahun lamanya untuk mempelajari dan menyalin buku-buku suci Agama Buddha dalam bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa.

Sriwijaya yang berada di pulau Sumatera didirikan pada kira-kira abad ke-7 dan dapat bertahan terus hingga tahun 1377.

Jaman Sailendra di Mataram.
Pada tahun 775 hingga tahun 850 di daerah Bagelen dan Yogyakarta berkuasalah raja-raja dari wangsa Sailendra yang memeluk Agama Buddha. Jaman ini adalah jaman keemasan bagi Mataram, dan negara di bawah pemerintahannya aman dan makmur. Ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang Agama Buddha sangat maju. Dan kesenian, terutama seni pahat, mencapai taraf yang sangat tinggi.

Pada waktu itu seniman-seniman bangsa Indonesia menghasilkan karya-karya seni yang mengagumkan. Hingga sekarang pun masih dapat kita saksikan betapa indahnya candi-candi yang mereka buat misalnya :

    1. Candi Kalasan. Candi ini terletak di sebelah timur laut kota Yogyakarta dan didirikan di tahun 778 oleh Rakai Panakaran atas perintah Raja Sailendra.
    2. Candi Sewu. Candi ini terletak di Prambanan (perbatasan Solo - Yogya) dan didirikan di tahun 800.
    3. Candi-candi Borobudur, Pawon, Mendut. Candi-candi ini terletak dekat kota Muntilan dan didirikan di tahun 825 atas perintah Raja Sailendra yang bernama Samarotungga.

Kecuali candi-candi tersebut di atas masih banyak lagi candi-candi yang didirikan atas perintah Raja-Raja Sailendra, tetapi yang paling besar dan paling indah adalah candi Borobudur. Setelah Raja Samarotungga meninggal dunia, Mataram kembali diperintah oleh raja-raja dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, namun Agama Buddha dan Agama Hindu dapat berkembang terus
berdampingan dengan rukun dan damai.

Jaman Majapahit.
Di dalam masa pemerintahan raja-raja Majapahit (tahun 1292 s/d tahun 1476), Agama Buddha berkembang dengan baik bersama-sama dengan Agama Hindu. Toleransi (saling harga-menghargai) di bidang keagamaan dijaga baik-baik, sehingga pertentangan agama tidak pernah terjadi.

Di waktu pemerintahan Raja Hayam Wuruk, seorang pujangga terkenal, Mpu Tantular, telah menulis sebuah buku yang berjudul "Sutasoma", di mana terdapat kalimat Bhinneka Tunggal Ika yang kini dijadikan lambang negara Republik Indonesia yang melambangkan motto toleransi dan persatuan. Setelah Majapahit runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.

Kebangkitan kembali Agama Buddha di Indonesia.
Agama Buddha mulai bangkit kembali di pulau Jawa dengan datangnya Bhikkhu Narada Thera dari Sri Lanka (Ceylon) di bulan Maret tahun 1934. Selama berada di pulau Jawa, Bhikkhu Narada Thera antara lain telah melakukan kegiatan-kegiatan sbb. :

a. Memberikan khotbah-khotbah dan pelajaran-pelajaran Buddha-Dhamma di beberapa tempat di Jakarta, Bogor, Jawa-Barat dan Jawa-Tengah.

    1. Memberkahi penanaman pohon Bodhi di pekarangan candi Borobudur pada tanggal 10 Maret 1934.
    2. Membantu dalam pendirian Java Buddhist Association (Perhimpunan agama
      Buddha yang pertama) di Bogor dan Jakarta.
    3. Menjalin kerja-sama yang erat dengan bhikshu-bhikshu (hweshio-hweshio) dari kelenteng-kelenteng Kim Tek Ie, Kwan Im Tong dan Toeng San Tong di Jakarta, kelenteng Hok Tek Bio di Bogor, kelenteng Kwan Im Tong di Bandung, kelenteng Tin kok Sin di Solo dan perhimpunan-perhimpunan Theosofie di Jakarta, Bogor, Jawa-Barat dan Jawa-Tengah.
    4. Melantik upasaka-upasaka dan upasika-upasika di tempat-tempat yang Beliau kunjungi. Bapak Maha Upasaka S. Mangunkowotjo, tokoh umat Buddha Jawa-Tengah dan anggota MPR telah dilantik menjadi upasaka di Yogyakarta oleh Bhikkhu Narada Thera pada tanggal 10 Maret 1934.

Nama-nama dari para perintis bangkitnya kembali Agama Buddha di pulau Jawa
pada waktu itu adalah antara lain :

  1. Pandita Josias van Dienst, Deputy Director General Buddhist Mission, Java Section.
  2. Kwee Tek Hoay, Direktur dan Redaktur Kepala dari Majalah Moestika Dharma, Jakarta.

Berterima kasih bisa membawa kemajuan

Kehidupan adalah nyata, kondisi bisa selalu berubah banyak sekali masalah bisa datang tiba-tiba di luar dugaan kita. Alkisah, di suatu kecamatan yang kecil di situ ada dua rumah makan bakmie, rumah makan yang satu posisinya berada di barat sedangkan yang satu lagi berada di timur. Dua perusahaan rumah makan bakmie tersebut telah berada disitu lebih dari 20 tahun maka tanpa disadari telah terjadi regenerasi pemiliknya atau pemilik sekarang adalah angkatan kedua.

Apa mau dikata kehidupan selalu berubah, pada suatu saat ditengah-tengah dari dua perusahaan rumah makan bakmie itu muncul rumah makan bakmie yang baru dengan ruangan rumah makan yang lebih baru, dekorasi yang lebih indah, memasang AC sehingga suasana rumah makan bakmie tersebut ramai sekali. Hal ini tentu mendatangkan rasa tidak suka dan kemarahan dari pemilik generasi kedua dari dua tukang bakmie yang berada di barat maupun yang di timur.

Pemilik bakmie yang berada di timur merasa dirinya sangat-sangat terganggu dengan keberadaan tukang bakmie yang baru, sehingga ia selalu setiap hari merasa marah, merasa kesal karena di rumah makannya itu langganannya mulai berkurang sedangkan dilihat dengan jelas rumah makan bakmie yang baru itu ramai luar biasa. Hal ini menyebabkan dia sangat marah dan terganggu apalagi orang yang makan bakmie di rumah makan yang baru itu parkirnya sudah memasuki area parkir rumah makan dia, tentu hal ini menimbulkan kemarahan sehingga pada suatu hari dengan perasaan tidak suka dan marah ia datang ke pemilik rumah makan bakmie yang berada di tengah sampai terjadi keributan dan perkelahian. Tentu bisa kita bayangkan, keributan dan perkelahian tersebut tidak selesai hanya di situ saja, bahkan perkelahian itu sampai kepada kantor polisi karena pemilik rumah makan yang berada di timur menggunakan senjata tajam yaitu alat pemukul yang tumpul dan memukul kepala pemilik rumah makan bakmie yang baru. Akhirnya pemilik rumah makan bakmie yang berada di timur itu di tahan.

Sedangkan pemilik rumah makan bakmie yang berada di barat juga hatinya sangat-sangat terganggu sekali dengan kedatangan rumah makan bakmie baru yang berada di tengah bahkan ia juga sangat terganggu karena tempat parkir rumah makan yang baru itu sudah masuk ke area parkir dia. Beruntung dia beragama Buddha, hati boleh panas, perasaan boleh tidak senang, merasa terganggu, merugikan, tetapi dia umat Buddha sehingga ia meminta nasehat kepada seorang Maha Bhiksu mengenai masalah ini.

Maha Bhiksu mendengar cerita tersebut dan tersenyum dengan mengatakan kepada pemilik rumah makan bakmie yang berada di barat, katakan dia sebagai B. “ B setiap orang di dunia ini berhak menentukan usaha apa yang mau ia tekuni, kamu sudah generasi yang kedua dari rumah makan bakmie yang berada di kecamatan ini, melihat dalam kecamatan ini ekonominya begitu bagus dan kamu berjualan bakmie begitu ramai tentu saja mudah sekali memancing orang ketiga untuk berdagang. Dan itu kamu harus mengsikapi dengan rasa bersyukur bahwa selagi kamu masih muda kamu bisa melihat kenyataan dan menghadapi tantangan yang baru, coba bayangkan bagaimana langganan lama kamu merasa nyaman berada di rumah makan bakmie kamu ini yang sudah berusia 30 tahun dari ayah kamu yang tidak pernah ada renovasi, bangkunya aja sudah tidak nyaman, udaranya saja makin hari sudah makin panas, suasananya kumuh. Coba kamu lihat keadaan rumah makan bakmie yang baru itu, dia kenapa bisa ramai, kamu harus menyelidikinya. Jangan menghadapi tantangan persaingan dengan kemarahan apalagi kebencian, memang berdasarkan logika kamu bisa mengatakan kurang ajar kita sedang enak-enak dagang di sini sebelumnya cukup dengan 2 rumah makan bakmie dan itu sudah berlangsung selama 30 tahun dan sekarang datang yang baru. Jangan menyikapi dengan rasa benci, marah, dendam, merasa terganggu karena keinginan kamu tidak tercapai. Syukurilah lihat kenapa langganan-langganan kamu pindah makan ke rumah makan bakmie yang baru”.

Pemilik bakmie yang di barat itu setelah mendengar nasehat Bhiksu tersebut dengan hati merasa malu ia mengakui, setiap manusia tentu punya hak untuk berusaha, memutuskan memilih membuat rumah makan bakmie sah-sah saja. Dengan rasa malu dan menyikapi bersyukur di nasehati oleh Bhiksu, ia pergi ke rumah makan bakmie yang di tengah itu untuk makan bakmie, begitu ia masuk ke ruangan tunggu karena keadaan ramai dia merasa suasananya nyaman, dekorasi ruangannya begitu sejuk, sudah memakai AC, lantai dan kursinya bersih, setelah dia selesai makan di situ dia pulang dan merenung, dia melihat rumah makan bakmienya sendiri sudah begitu kotor, kumuh, 30 tahun tidak pernah di renovasi. Selama ini karena kesibukan ramainya yang belanja, sehari demi sehari berlalu begitu saja sehingga tidak terasa karena terbiasa melihat keadaan kotor tanpa perbandingan. Dan sekarang ada perbandingan dengan rumah makan yang baru, dia merasa rumah makannya sudah sangat tua, maka dengan satu tekad yang besar ia harus mengadakan perubahan, mengikuti perubahan zaman, ia pasang pengumuman rumah makan bakmie ini tutup untuk 2 bulan karena akan melakukan renovasi besar-besaran.

Mulailah ia membersihkan selokan, mengecat baru lagi gedungnya, pasang AC, piring mangkok yang pecah dan berantakan di ganti dengan yang baru, anak buah yang melayani dengan memakai kaos dilarang, dia mulai menyeragamkan anak buahnya dengan pakaian yang pantas, dan tukang masaknya dipakaikan baju yang rapih. 30 tahun kedaan yang kumuh di rubah menjadi lebih rapih dan bersih bahkan dia menggunakan metode yang baru yaitu tamu yang belanja bisa melihat ruangan dapurnya langsung yang kelihatan bersih dan nyaman. Ternyata setelah renovasi selesai selama 2 bulan dan di buka kembali mulailah rumah makan bakmie dia sehari demi sehari menjadi ramai, langganan yang lama maupun yang baru mulai berdatangan kembali.

6 bulan telah berlalu setiap pagi sekarang dia buka rumah makan bakmie nya dengan satu sikap yang bersemangat, hari ini semoga bisa lebih baik dagangannya dari kemarin, setiap memulai usaha anak buahnya datang satu jam di muka, membersih-bersihkan ruangan dan diberikan breefing olehnya, kita harus menyambut tamu dengan tersenyum dan ramah, tamu adalah raja tamu yang memberi makan kepada kita, dia menyampaikan pesan dari Bhiksuunya tersebut yaitu darah dan daging ini adalah pemberian orang tua, pakaian yang kita pakai ini adalah pemberian dari tamu yang makan di rumah makan kita.

Dengan semangat yang baru dan mensyukuri apa yang ada, di dalam hati tidak ada rasa marah kepada rumah makan bakmie yang ditengah, sehingga ucapannya yang baik-baik saja, melayani tamu bagaikan raja, tidak seperti dulu selalu menjelekkan rumah makan yang di tengah. Setelah 6 bulan dia melihat rumah makannya ramai kembali tidak kalah dengan yang berada dengan rumah makan yang ditengah karena di renovasi lebih modern lagi, karena memang dia merupakan rumah makan yang sudah lama dan sudah dikenal dan punya modal yang kuat sehingga renovasinya bisa lebih baik daripada rumah makan yang berada di tengah. Sekarang kalau di bandingkan, rumah makan dia bisa lebih bersih, rapi, nyaman , dingin, terasa lebih mewah, lebih menyejukkan daripada rumah makan ditengah yang hanya renovasi begitu saja. Sedangkan rekannya yang dulu, yang berada di timur karena kena perkara polisi masuk penjara, tokonya tidak diteruskan lagi, dengan demikian dia menjadi survive kembali.

Teman-teman sedharma yang berbahagia, kehidupan adalah nyata setiap saat selalu berubah dalam menghadapi perubahan dengan perasaan marah-marah tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan mungkin bisa membuat masalah menjadi tambah buruk. Mari kita hadapi kondisi perubahan yang baru dengan rasa bersyukur dan berterima kasih, bagaikan di suatu perusahaan yang datang pegawai baru, rekan kerja yang baru jangan memusuhinya, jangan takut dengan kedatangan orang yang baru, kalau kita punya rasa permusuhan mana bisa terjadi penyegaran dalam jiwa. Oleh arena itu, mari kita belajar mensyukuri perubahan, mensyukuri kondisi yang baru, menghadapi tantangan masa depan yang baru dengan tersenyum penuh semangat mengupgrade diri kita sendiri, meningkatkan daya kemampuan diri kita sendiri, meperbaiki sikap perbuatan kita sendiri. Percayalah kitapun juga tidak akan kalah, kita akan survive apalagi di zaman teknologi yang sudah sangat maju, kita sebagai karyawan lama yang dulu hanya memakai mesin ketik biasa paling tinggi memakai mesin ketik elektronik, sedangkan karyawan baru sudah bisa menggunakan komputer. Kalau kita tidak mau mengupgrade diri kita belajar komputer, belajar teknologi baru tentu aja kita bisa ketinggalan.

Oleh karena itu, mensyukurilah kondisi baru yang ada, hadapilah tantangan dengan rasa gembira, dengan pepatah mengatakan “ saingan kita pada hakekatnya adalah teman kita yang membangkitkan tantangan untuk kita lebih bisa waspada dan maju kembali”. Sungguh beruntung kehidupan kita sebagai manusia biasa mempunyai keyakinan beragama, sehingga dikala kita susah kita tetap ingat kepada agama kita, sungguh beruntung kita dilahirkan beragama Buddha kita bisa mendapatkan nasehat-nasehat yang baik dari pemuka agama kita, dari seorang Maha Bhiksu seperti pemilik rumah makan yang berada di barat itu.

Selamat berjuang kawan, hadapilah dengan sikap yang wajar dan bersyukur satu tantangan adalah awal untuk mendorong kita berusaha untuk maju. Satu tantangan adalah awal mendorong kita untuk lebih belajar lagi agar kita maju. Memang kehidupan manusia harus selalu diisi dengan semangat yang baru, dengan rasa bersyukur berterima kasih, dengan demikian kehidupan kita tidak akan kosong, tidak akan jenuh, dan kita akan gembira dan berbahagia. Selamat berjuang

RIWAYAT HIDUP BUDDHA GAUTAMA

Ayah dari Pangeran Siddharta adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya adalah Sri Ratu Mahä Mäyä Dewi. Ibunda Ratu meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Sang Pangeran. Setelah meninggal, beliau terlahir di alam Tusita, yaitu alam sorga luhur. Sejak itu maka yang merawat Pangeran Siddharta adalah Mahä Pajäpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.

Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 Sebelum Masehi di Taman Lumbini. Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala diramalkan bahwa Pangeran Siddharta kelak akan menjadi Maharaja Diraja atau akan menjadi Seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan pasti meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa, atau ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah : 1. Orang tua, 2. Orang sakit, 3. Orang mati, 4. Seorang pertapa.

Sejak kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan sangat pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang masih muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan berbagai sayembara. Ternyata akhirnya Sang Pangeran melihat empat peristiwa yang selalu diusahakan agar tidak berada di dalam penglihatannya, setelah itu Pangeran Siddharta tampak murung dan kecewa melihat kenyataan hidup yang penuh dengan derita ini.

Ketika beliau berusia 29 tahun, putera pertamanya lahir dan diberi nama Rahula. Setelah itu Pangeran Siddharta meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati. Pertapa Siddharta berguru kepada Alära Käläma dan kemudian kepada Uddaka Ramäputra, tetapi tidak merasa puas karena tidak memperoleh yang diharapkannya. Kemudian beliau bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang pertapa. Akhirnya beliau juga meninggalkan cara yang ekstrim itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi untuk mendapatkan Penerangan Agung.

Dalam usia 35 tahun pertapa Siddharta memperoleh Penerangan Agung, menjadi Buddha di bawah pohon Bodhi di hutan Uruvela (kini tempat tersebut disebut Buddha Gaya). Untuk pertama kalinya Beliau mengajarkan Dhamma yang maha sempurna kepada lima orang pertapa kawan Beliau di Taman Rusa Isipatana di dekat Benares. Adapun kelima orang pertapa itu adalah Kondañña, Bodhiya, Vappa, Mahanama dan Assaji.

Setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, Kondañña, segera menjadi Sotapanna dan kemudian menjadi Arahat. Yang lainnya pun menyusul menjadi Arahat. Khotbah pertama ini kemudian dikenal sebagai Khotbah Pemutaran Roda Dhamma (Dhamma Cakka Pavattana Sutta). Selanjutnya Sang Buddha sangat giat mengajarkan Dhamma kepada para siswaNya sampai Beliau mangkat di Kusinara dalam usia 80 tahun.