Selasa, 16 Juni 2009

Ajaran Buddha Dan Politik

AJARAN BUDDHA DAN POLITIK

Sang Buddha yang berasal dari kasta Ksatria dan secara alami dibawa dalam pergaulan para Raja, pangeran, dan menteri. Waulapun asal dan pergaulan demikian, Beliau tidak pernah menempuh jalan dengan pengaruh kekutan politik untuk memperkenalkan ajaranya, atau mengijinkan ajaranya disalah gunakan demi memperoleh kekuatan politik. Tetapi dewasa ini banyak politikus mencoba menarik nama Buddha kedalam politik dengan memperkenalkan beliau sebagai seorang komunis, kapitalis, imperialis. Mereka telah lupa bahwa filosofi politik baru seperti yang kita ketahui, sebenarnya berkembang di barat lama sesudah masa Sang Buddha. Mereka yang mencoba untuk menggunakan nama baik Sang Buddha demi keuntungan pribadi mereka sendiri harus ingat bahwa Sang Buddha adalah yang telah mencapai penerangan sempurna, yang telah meninggalkan urusan duniawi.

Ada permasalahan yang mendasar dengan mencoba untuk mencampur-adukan agama dengan politik. Dasar agama adalah moralitas, kesucian, keyakinan, dan kebijaksanaan, sementara dasar politik adalah kekuasaan. Sepanjang sejarah agama sering di manfaatkan untuk memberi kewenangan kepada pihak penguasa.

Ketika agama di jadikan kaki tangan tindakan politik, agama harus lebih dahulu menanggalkan gagasan luhurnya dan merendahkan nilainya dengan tuntutan politik duniawi. Dalam situasi inilah agama digunakan untuk membenarkan perang dan penjajahan, kekerasan, pemberontakan, penghancuran hasil karya seni dan budaya.

Dhamma tidak diarahkan kepada penciptaan lembaga politik baru dan menetapkan tata cara politik. Pada dasarnya ajaran Buddha berupaya mendekati masalah-masalah dalam masyarakat dengan mengubah individu dalam masyarakat dan dengan menganjurkan beberapa prinsip umum untuk menuntun masyarakat untuk menuju perikemanusiaan yang lebih baik, peningkatan kesejahteraan anggota masyarakat, dan pemerataan sumber daya yang adil.

Ada batas tertentu dimana sistem politik dapat menjamin kebahagiaan dan kemakmuran rakyat. Tidak ada system politik, betapa pun tampak idealnya, yang dapat menghasilkan kedamaian dan kebahagiaan selama rakyat dalam sistem itu didominasi oleh keserakahan kebencian, dan kegelapan batin. Sebagai tambahan, tidak peduli sistem politik apa yang dipakai, ada faktor universal tertentu yang yang harus dialami oleh anggota masyarakat: efek karma baik dan buruk, kurangnya kepuasan sejati atau kebahagiaan abadi di dunia yang ditandai oleh dukkha (ketidakpuasan), annica (ketidak-kekalan), dan, anatta (tanpa inti).

Pendekatan umat Buddha terhadap kekuasaan politik adalah moralitas dan penggunaan kekuasaan rakyat secara bertanggung jawab. Sang Buddha tidak hanya mengajarkan tanpa kekerasan dan kedamaian, Ia mungkin guru pertama dan satu-satunya yang pergi ke medan perang sendiri untuk mencegah pecahnya perang.

Sang Buddha mendiskusikan pentingnya dan prasarat pemerintahan yang baik. Beliau menunjukan bagaimana negara menjadi korup, memburuk, dan tidak bahagia jika kepala pemerintahan korup dan tidak adil. Beliau berbicara tentang korupsi dan bagaimana pemerintah harus bertindak berdasarkan pada prinsip kemanusiaan.

Sang Buddha pernah berkata: “Jika penguasa suatu negara adil dan baik, para menteri menjadi adil dan baik; jika para menteri adil dan baik, para pejabat tinggi menjadi adil dan baik, para bawahan menjadi adil dan baik; jika para bawahan adil dan baik, rakyat menjadi adil dan baik.”(Angutara Nikaya).

Dalam Cakkavatti Sihanada Sutta, Sang Buddha berkata bahwa pelanggaran susila dan kejahatan, seperti pencurian, penipuan, kekerasan, kebencian, kekejaman, dapat muncul dari kemelaratan. Para raja dan pemerintah mungkin mencoba untuk menekan kejahatan melalui hukuman, tapi memberantas kejahatan dengan kekerasan adalah sis-sia.

Dalam Kehidupan bermasyarakat dan bernegara para umat awam boleh saja masuk dalam dunia politik dan tentunya harus sesuai dan berpedoman dengan ajaran-ajaran dari Sang Buddha. Lain halnya bagi kehidupan para Bhikkhu yang menjalankan Sila dan Vinaya mereka tidak diperbolehkan atau tidak dianjurkan untuk terjun dalam dunia politik. Sila dan Vinaya adalah kode disiplin pelatihan diri yang ditetapkan oleh Sang Buddha untuk dijalani oleh para bhikkhu dan bhikkhuni. Vinaya memainkan peran utama untuk menjaga kemurnian jalan hidup religius mereka.

Menurut Sang Buddha, manfaat terbaik Vinaya adalah untuk mendisiplinkan pikiran, perkataan, dan perbuatan melalui pandangan dan pemahaman. Murid-murid pertama Sang Buddha sangat maju secara spiritual dan hampir tidak memerlukan serangkaian aturan untuk diberlakukan bagi mereka. Namun dengan bertambahnya jumlah anggota Sangha, hal ini menarik banyak orang, sebagian dari mereka tidak begitu tinggi perkembangan spiritualnya. Munculah beberapa masalah sehubungan dengan perbuatan dan cara hidup mereka seperti ambil bagian dari aktivitas awam untuk penghidupan mereka dan tergiur akan kesenangan inderawi.

Sehubungan dengan situasi ini, Sang Buddha harus memberlakukan panduan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni untuk diikuti sehingga mereka dapat membedakan kehidupan pertapaan dan kehidupan orang awam. Pesamuan suci bhikkhu dan bhikkhuni ini sangat terorganisir dengan baik dibandingkan komunitas petapaan lain pada masa itu.

Kehidupan para bhikkhu sangatlah berbeda dengan kehidupan para umat awam, seorang umat awam boleh melakukan aktifitas apapun selama mereka tidak melanggar norma-norma agama dan aturan hukum yang berlaku. Berbeda dengan kehidupan para bhikkhu yang telah bertekad untuk meninggalkan kehidupan keduniawian, dan mereka terikat pada Vinaya, sehingga mereka tidak diperbolehkan untuk terjun dalam dunia politik. Salah satu isi dari Vinaya yang berkaitan dengan aturan bahwa para bhikkhu tidak diperkenankan untuk berpolitik terdapat dalam peraturan PACITTIYA kelompok ke lima mengenai ACELAKAVAGGA diantaranya :

  1. Jika seorang Bhikkhu melihat sepasukan tentara yang berbaris menyiapkan diri untuk berperang, kecuali bila ada alasan yang kuat, maka ia melakukan Pacittiya
  2. Seandainya ada alasan kuat yang mendesaknya untuk pergi tinggal bersama tentara, ia di perbolehkan tinggal selama tigaa hari, lebih dari itu ia melakukan Pacittiya
  3. Selagi tinggal bersama dengan tentara bila ia pergi melihat pertempuran, melihat mereka berlatih, melihat mereka untuk berperang atau melihat tentara berbaris dan bersiap-siap untuk berperang, maka ia melakukan Pacittiya.

Dengan adanya Vinaya tersebut terbukti bahwa seorang bhikkhu tidak boleh berpolitik. Vinaya tersebut menjelaskan bahwa seorang bhikkhu tidak diperbolehkan bergabung dengan para tentara yang akan berperang. Secara logika para tentara tersebut berperang karena urusan politik, dan tujuan dari politik adalah untuk saling menjatuhkan dan untuk saling berkuasa dan memperebutkan kedudukan. Sementara tujuan dari melaksanakan kehidupan kebhikkhuan adalah untuk spiritual, moralitas, kesucian, keyakinan, alasan inilah yang menjadikan dasar untuk para bhikkhu untuk tidak ikut berperan dalam dunia politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar